I’TIKAF
I’tikaf (Itikaf, iktikaf, iqtikaf, i’tiqaf, itiqaf), berasal dari bahasa Arab akafa yang berarti menetap, mengurung diri atau terhalangi. I’tikaf dalam pengertian bahasa berarti berdiam diri yakni tetap di atas sesuatu. Sedangkan dalam pengertian syari’ah agama, I’tikaf berarti berdiam diri di masjid sebagai ibadah yang disunahkan untuk dikerjakan di setiap waktu dan diutamakan pada bulan suci Ramadhan, dan lebih dikhususkan sepuluh hari terakhir untuk mengharapkan datangnya Lailatul Qadr.
Apa hukum I`tikaf bagi lelaki
dan perempuan? Apakah ketika I`tikaf itu disyaratkan harus berpuasa?
Apa saja yang dikerjakan orang yang beri`tikaf , dan kapan ia harus
masuk mu`takaf (tempat I`tikaf )nya dan keluar darinya?
I`tikaf
hukumnya adalah sunnah bagi lelaki dan perempuan, sesuai yang
ditetapkan dari nabi, bahwa beliau selalu beri`tikaf di bulan ramadhan.
Kemudian
I`tikaf beliau menjadi rutin pada setiap sepuluh terakhir bulan
ramadhan. Bahkan beberapa isteri beliau pernah beri`tikaf bersama
beliau. Kemudian setelah beliau meninggal dunia, para isteri itu
senantiasa beri`tikaf dan tidak meninggalkannya sama sekali.
Sedangkan Tempat I`tikaf adalah masjid-masjid yang didalamnya dilaksanakan shalat jamaah, tetapi jika dalam I`tikaf
nya bakal ada shalat jum`at, maka yang lebih utama adalah
mengerjakannya di masjid jami`, yang disitu dilaksanakan shalat jum`at.
Tentunya jika hal ini bisa dilakukannya.
Adapun waktu I`tikaf , menurut pendapat para ulama`
yang paling sahih; tidak ada batasan tertentu mengenai waktu tersebut,
dan tidak pula disyaratkan harus berpuasa saat mengerjakannya, tetapi
jika dibarengi dengan puasa maka itu I`tikaf itu lebih afdhal.
Dan sunnahnya, seseorang harus masuk ke mu`takafnya saat ia berniat hendak I`tikaf
, lalu keluar setelah habisnya masa yang diniatkan itu, ia juga bebas
menghentikan I`tikaf nya jika ia harus melakukannya. Sebab, I`tikaf
hukumnya adalah sunnah, seseorang tidak wajib melakukannya kecuali dia
memang bernadzar untuk mengerjakannya.
Sedangkan yang paling dianjurkan untuk mengerjakan I`tikaf adalah di sepuluh terakhir bulan ramadhan,
sesuai dengan kebiasaan nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam. Dan
disunnahkan bagi seseorang yang hendak I`tikaf untuk masuk ke dalam
mu`takafnya setelah shalat subuh pada hari kedua puluh satu. Lalu ia
selesai dari I`tikaf nya ketika sepuluh terakhir dari ramadhan itu
habis.
Tetapi, jika dia menghentikan I`tikaf sebelum habis
sepuluh terakhir, maka hal itu tidak mengapa baginya, selama I`tikaf
itu bukan sesuatu yang dinadzarkannya sebagaimana dijelaskan tadi. Dan
lebih utama jika seseorang memilih tempat tertentu dalam masjid,
sehingga ia bisa beristirahat padanya.
Seseorang yang I`tikaf , disyariatkan atasnya untuk memperbanyak
dzikir, baca al-Qur`an, istighfar, berdoa, dan mengerjakan shalat pada
selain waktu-waktu yang dilarang.
Seorang yang sedang I`tikaf , tidak menjadi masalah
jika ia dikunjungi teman-temannya. Juga tidak masalah untuk
berbincang-bincang dengan mereka, sebagaimana yang dilakukan nabi
Shallallahu `alaihi wa Sallam, waktu I`tikaf beliau dikunjungi beberapa
isterinya dan beliau berbincang dengan mereka.
Beliau pernah dikunjungi isterinya, Shafiyyah, saat beri`tikaf di
bulan ramadhan, ketika Shafiyyah bangkit hendak pergi, beliau pun
bangkit bersama Shafiyyah, mengikutinya sampai pintu masjid. Jadi semua
hal ini menunjukkan bahwa hal itu tidak mengapa untuk dilakukan.
Perbuatan beliau ini menunjukkan betapa sempurna ketawadhu`an dan
kerendahan diri beliau, dan betapa indah riwayat hidup beliau bersama
para isterinya. Semoga shalawat Allah dan salam-Nya senantiasa tercurah
kepada beliau.
Bagaimana tata cara beri’tikaf
di masjid pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, kapan dimulai dan amalan
apa yang dikerjakan selama beri’tikaf berdasarkan Al-Qur’an dan
As-Sunnah?
Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad as-Sarbini al-Makassari
Beri’tikaf
di masjid pada sepuluh hari terakhir Ramadhan merupakan sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam yang sering dikerjakan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam untuk mencari keutamaan sepuluh hari terakhir Ramadhan,
khususnya malam mulia yang utama (lailatul-qadri). Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa
melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga beliau
diwafatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian para istri beliau
pun melakukan i’tikaf sepeninggal beliau.” (Muttafaq ‘alaih)
I’tikaf memiliki adab-adab yang menentukan sah dan
sempurnanya i’tikaf, termasuk kapan mulainya dan kapan berakhirnya,
berikut amalan-amalan apa saja yang dikerjakan selama i’tikaf.
Barangsiapa berniat untuk melaksanakan sunnah ini hendaklah memulai i’tikaf dengan masuk
ke masjid tempat i’tikaf sejak terbenamnya matahari di malam ke-21
Ramadhan, karena sepuluh hari terakhir Ramadhan dimulai ketika terbenam
matahari di malam ke-21 Ramadhan. Jika dia menyiapkan
tenda (kemah) di salah satu bagian masjid sebagai tempat menyendiri
selama i’tikaf -dan ini hukumnya sunnah- hendaklah masuk ke dalam tenda
(kemah itu setelah shalat shubuh. Dalilnya, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam memulai i’tikaf di masjidnya ketika terbenam matahari
di awal malam ke-21. Namun beliau baru menyendiri (masuk) di dalam tenda
yang telah disiapkan untuk dirinya setelah shalat shubuh, berdasarkan
hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkeinginan melakukan
i’tikaf, beliau menunaikan shalat Fajar (shubuh), kemudian masuk ke
tempat i’tikafnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Ini adalah mazhab empat imam (Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, dan
Ahmad) serta jumhur (mayoritas) ulama yang dirajihkan (dikuatkan) oleh
al-Imam Ibnu ‘Utsaimin, dan inilah pendapat yang rajih.
Selama beri’tikaf hendaklah memerhatikan adab-adab berikut:
1. Tidak melakukan jima’ (senggama), berdasarkan ayat i’tikaf:
“Janganlah kalian menggauli istri-istri itu, sedangkan kalian beri’tikaf dalam masjid.” (Al-Baqarah: 187)
Hal ini hukumnya haram dan membatalkan i’tikaf, baik dilakukan di
masjid maupun di luar masjid (rumah). Sebab, Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengharamkannya secara khusus pada i’tikaf, padahal pada asalnya halal
di luar i’tikaf. Jima’ diharamkan dalam i’tikaf karena bertentangan
dengan tujuan i’tikaf.
2.
Tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tujuan i’tikaf, seperti
keluar untuk bersenggama dengan istri di rumah, keluar untuk menekuni
pekerjaannya, ataupun melakukan profesinya di tempat i’tikafnya [1],
keluar untuk bertransaksi jual-beli, ataupun melakukan transaksi
jual-beli di masjid, dan semisalnya. Apabila hal itu
dilakukan maka i’tikafnya batal, meskipun ia telah mempersyaratkan akan
melakukannya saat berniat melakukan i’tikaf, karena hal-hal tersebut
bertentangan dengan tujuan i’tikaf. Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata,
“Kalau memang ia butuh untuk bekerja (melakukan profesinya), jangan
beri’tikaf.”
3.
Tidak keluar dari tempat i’tikaf untuk urusan yang tidak bersifat harus
dilakukan. Adapun keluar untuk urusan yang bersifat harus dilakukan,
hal itu boleh. Urusan tersebut meliputi hal-hal yang bersifat tabiat
manusiawi seperti kebutuhan buang hajat dan makan minum, atau yang
bersifat aturan syariat seperti wudhu, mandi janabah, dan shalat Jum’at. Ibnu
Qudamah rahimahullah berkata, “Tidak ada khilaf tentang bolehnya
seseorang yang beri’tikaf keluar dari masjid untuk suatu urusan yang
harus dilakukan.” Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
“Sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang
beri’tikaf, beliau biasanya tidak masuk rumah kecuali untuk suatu hajat
(pada riwayat Muslim: untuk hajat manusiawi).” (Muttafaq ‘alaih)
Juga hadits ‘Aisyah yang mauquf (dinisbatkan kepada ‘Aisyah sebagai
perbuatannya) yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya pada
“Kitab al-Haidh”:
“Adalah aku (jika sedang beri’tikaf) biasa masuk rumah untuk suatu
hajat, padahal di dalam rumah ada orang sakit. Aku tidak menanyakan
keadaannya kecuali sambil lewat saja.” [2]
Oleh karena itu, tidak boleh keluar dari tempat i’tikaf untuk urusan
ketaatan yang bersifat sunnah, seperti menjenguk orang sakit dan
mengantarkan jenazah, menurut pendapat yang rajih. Ini adalah pendapat
jumhur ulama dan dirajihkan oleh Ibnu ‘Utsaimin, kecuali jika jelas
baginya bahwa tidak ada yang mengurusi orang sakit tersebut selain
dirinya -sedangkan kondisi sakitnya telah kritis- atau jika tidak ada
yang bisa mengurusi jenazah tersebut selain dirinya, hal ini
diperbolehkan. Sebab, pada kondisi itu hukumnya menjadi wajib atas
dirinya. Jika ia keluar untuk suatu urusan yang harus dilakukannya, maka
tidak boleh berlama-lama lebih dari hajatnya itu. Jika ia berlama-lama
lebih dari hajatnya tersebut, maka i’tikafnya batal sebagaimana batalnya
i’tikaf jika keluar untuk urusan yang tidak bersifat wajib meskipun
hanya sebentar, menurut pendapat empat imam mazhab.
4.
Disunnahkan menyibukkan diri dengan berbagai macam ibadah khusus,
seperti shalat sunnah mutlak di waktu-waktu yang tidak terlarang,
membaca Al-Qur’an, berzikir, berdoa, serta beristighfar. Secara
khusus, sepuluh malam terakhir Ramadhan dihidupkan dengan shalat
tarawih. Inilah inti dan tujuan i’tikaf, untuk mengkhususkan diri dengan
ibadah-ibadah tersebut. Itulah sebabnya pelaksanaan i’tikaf dibatasi
harus di masjid.
5. Disunnahkan meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun yang lainnya.
6. Tidak mengapa
baginya untuk berbicara sebatas hajat dan berbincang-bincang dengan
orang lain dalam batas yang dibolehkan dalam syariat, baik secara
langsung maupun melalui telepon, selama hal itu masih dalam masjid
tempat beri’tikaf. Demikian pula, tidak mengapa untuk
dikunjungi kerabat atau temannya di tempat i’tikafnya serta
berbincang-bincang sejenak dan tidak lama. Hal ini ditunjukkan oleh
hadits Shafiyyah bintu Huyai radhiyallahu ‘anha, salah seorang istri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari dan Muslim (Muttafaqun ‘Alaih) tentang kedatangannya
mengunjungi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di malam hari saat beliau
melakukan i’tikaf, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri
bersamanya dan mengantarkannya pulang ke rumahnya. [3]
Selanjutnya, i’tikaf berakhir ketika terbenam matahari di malam ‘Id
dan tidak disyariatkan menunggu esok harinya hingga menjelang shalat
‘Id. Ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama serta Ibnu Hazm.
Catatan kaki:
[1] Seperti menjahit atau yang lainnya.
[2] Adapun periwayatan hadits ini secara marfu’ (dinisbatkan kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud merupakan riwayat yang dha’if (lemah), sebab dalam sanadnya
terdapat rawi yang lemah bernama Laits bin Abi Sulaim.
[3] Adapun keluarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari
masjid untuk mengantarkan Shafiyyah radhiyallahu ‘anha, dibawa kepada
pemahaman bahwa hal itu merupakan keharusan bagi beliau shallallahu
‘alaihi wasallam untuk melakukannya, karena peristiwa itu di malam hari
sehingga beliau khawatir jika membiarkannya pulang sendiri.
Hal-hal Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf
Para ulama telah menyebutkan beberapa hal yang dibolehkan bagi para mu’takifin ketika itikaf, di antaranya:
1. Membuat kemah di dalam masjid yang dia gunakan untuk menyendiri di dalam beribadah.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada sepuluh hari
terakhir Ramadhan, dan aku membuatkan kemah untuk beliau, beliau shalat
shubuh kemudian memasukinya.” [HR. Al-Bukhari]
2. Keluar dari masjid ketika ada kebutuhan, seperti
keluar untuk menyediakan makanan dan minuman, keluar untuk menunaikan
hajatnya, berwudhu, dan juga mandi. Dengan syarat kebutuhan-kebutuhan
tadi memang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
3. Boleh bagi seorang mu’takif untuk bertemu dan duduk
bersama istri di dalam kemahnya, demikian pula boleh untuk menyambut
siapa saja yang dating mengunjunginya, dengan syarat tidak menimbulkan
fitnah.
Dari ‘Ali bin Husain radhiyallahu ‘anhuma:
أَنَّ صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِيِّ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى
النَّبِيِّ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي الْعَشْرِ
الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ثُمَّ قَامَتْ
تَنْقَلِبُ أي تعود إلى بيتها وَقَامَ النَّبِيُّ ليَقْلِبهَا أي ليوصلها
إلى بيتها
“Bahwasanya Shafiyyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah
mengkhabarkan kepadanya, bahwa dia pernah datang mengunjungi Nabi ketika
beliau sedang i’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir Ramadhan,
kemudian dia (Shafiyyah) berbincang-bincang dengan beliau beberapa saat,
dan kemudian dia berdiri untuk kembali ke rumahnya, dan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam mengantarkan dia sampai ke rumahnya.” [HR.
Al-Bukhari dan Muslim]
4. Boleh bagi seorang mu’takif untuk meminang, melakukan akad
nikah, dan menjadi saksi nikah di dalam masjid. Karena i’tikaf itu
adalah ibadah yang tidak mengharamkan (menghalangi dikerjakannya)
kebaikan (yang lainnya), maka i’tikaf tidak mengharamkan (menghalangi)
seseorang dari nikah sebagaimana puasa. Demikian pula karena nikah itu
adalah bentuk ketaatan, menghadirinya adalah juga merupakan bentuk
taqarrub. Dan hendaknya itu semua dilakukan dengan tidak terlalu
berlama-lama yang menyebabkan tersibukkannya dari i’tikaf ……
5. Boleh bagi seorang mu’takif untuk membersihkan badannya,
memakai parfum, dan memakai pakaian yang baik, boleh pula menyisir
rambutnya dan juga memotong kukunya.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ يُصْغِي إِلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ مُجَاوِرٌ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendongokkan kepalanya
kepadaku (ketika aku berada di rumahku yang) bersebelahan dengan masjid.
Aku menyisir rambut beliau dalam keadaan aku sedang haid.” [HR.
Al-Bukhari]
6. Boleh bagi seorang mu’takif untuk mengadakan halaqah dalam
rangka mengajarkan cara membaca Al-Qur’an atau menghadiri halaqah bacaan
Al-Qur’an tersebut, demikian pula dibolehkan untuk membaca kitab-kitab
ilmiah dan menghadiri majelis-majelis para ulama dan diskusi mereka,
atau kegiatan lain yang bisa memberikan manfaat kepada orang lain.
7. Boleh bagi seorang mu’takif untuk naik ke atap (lantai
paling atas) masjid karena itu masih termasuk bagian dari masjid.