Pages

Jumat, 02 Agustus 2013

  I’TIKAF

I’tikaf (Itikaf, iktikaf, iqtikaf, i’tiqaf, itiqaf), berasal dari bahasa Arab akafa yang berarti menetap, mengurung diri atau terhalangi. I’tikaf dalam pengertian bahasa berarti berdiam diri yakni tetap di atas sesuatu.  Sedangkan dalam pengertian syari’ah agama, I’tikaf berarti berdiam diri di masjid sebagai ibadah yang disunahkan untuk dikerjakan di setiap waktu dan diutamakan pada bulan suci Ramadhan, dan lebih dikhususkan sepuluh hari terakhir untuk mengharapkan datangnya Lailatul Qadr.
Apa hukum I`tikaf  bagi lelaki dan perempuan? Apakah ketika I`tikaf  itu disyaratkan harus berpuasa? Apa saja yang dikerjakan orang yang beri`tikaf , dan kapan ia harus masuk mu`takaf (tempat I`tikaf )nya dan keluar darinya?

Dijawab oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah
 
 Kemudian I`tikaf  beliau menjadi rutin pada setiap sepuluh terakhir bulan ramadhan. Bahkan beberapa isteri beliau pernah beri`tikaf  bersama beliau. Kemudian setelah beliau meninggal dunia, para isteri itu senantiasa beri`tikaf  dan tidak meninggalkannya sama sekali.

Sedangkan Tempat I`tikaf  adalah masjid-masjid yang didalamnya dilaksanakan shalat jamaah, tetapi jika dalam I`tikaf nya bakal ada shalat jum`at, maka yang lebih utama adalah mengerjakannya di masjid jami`, yang disitu dilaksanakan shalat jum`at. Tentunya jika hal ini bisa dilakukannya.
Adapun waktu I`tikaf , menurut pendapat para ulama` yang paling sahih; tidak ada batasan tertentu mengenai waktu tersebut, dan tidak pula disyaratkan harus berpuasa saat mengerjakannya, tetapi jika dibarengi dengan puasa maka itu I`tikaf  itu lebih afdhal.
Dan sunnahnya, seseorang harus masuk ke mu`takafnya saat ia berniat hendak I`tikaf , lalu keluar setelah habisnya masa yang diniatkan itu, ia juga bebas menghentikan I`tikaf nya jika ia harus melakukannya. Sebab, I`tikaf  hukumnya adalah sunnah, seseorang tidak wajib melakukannya kecuali dia memang bernadzar untuk mengerjakannya.
Sedangkan yang paling dianjurkan untuk mengerjakan I`tikaf  adalah di sepuluh terakhir bulan ramadhan, sesuai dengan kebiasaan nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam. Dan disunnahkan bagi seseorang yang hendak I`tikaf  untuk masuk ke dalam mu`takafnya setelah shalat subuh pada hari kedua puluh satu. Lalu ia selesai dari I`tikaf nya ketika sepuluh terakhir dari ramadhan itu habis.
Tetapi, jika dia menghentikan I`tikaf  sebelum habis sepuluh terakhir, maka hal itu tidak mengapa baginya, selama I`tikaf  itu bukan sesuatu yang dinadzarkannya sebagaimana dijelaskan tadi. Dan lebih utama jika seseorang memilih tempat tertentu dalam masjid, sehingga ia bisa beristirahat padanya.
Seseorang yang I`tikaf , disyariatkan atasnya untuk memperbanyak dzikir, baca al-Qur`an, istighfar, berdoa, dan mengerjakan shalat pada selain waktu-waktu yang dilarang.
Seorang yang sedang I`tikaf , tidak menjadi masalah jika ia dikunjungi teman-temannya. Juga tidak masalah untuk berbincang-bincang dengan mereka, sebagaimana yang dilakukan nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam, waktu I`tikaf  beliau dikunjungi beberapa isterinya dan beliau berbincang dengan mereka.
Beliau pernah dikunjungi isterinya, Shafiyyah, saat beri`tikaf  di bulan ramadhan, ketika Shafiyyah bangkit hendak pergi, beliau pun bangkit bersama Shafiyyah, mengikutinya sampai pintu masjid. Jadi semua hal ini menunjukkan bahwa hal itu tidak mengapa untuk dilakukan. Perbuatan beliau ini menunjukkan betapa sempurna ketawadhu`an dan kerendahan diri beliau, dan betapa indah riwayat hidup beliau bersama para isterinya. Semoga shalawat Allah dan salam-Nya senantiasa tercurah kepada beliau.

Bagaimana tata cara beri’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, kapan dimulai dan amalan apa yang dikerjakan selama beri’tikaf berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah?
Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad as-Sarbini al-Makassari

 
Beri’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir Ramadhan merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sering dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mencari keutamaan sepuluh hari terakhir Ramadhan, khususnya malam mulia yang utama (lailatul-qadri). Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian para istri beliau pun melakukan i’tikaf sepeninggal beliau.” (Muttafaq ‘alaih)
I’tikaf memiliki adab-adab yang menentukan sah dan sempurnanya i’tikaf, termasuk kapan mulainya dan kapan berakhirnya, berikut amalan-amalan apa saja yang dikerjakan selama i’tikaf.
Barangsiapa berniat untuk melaksanakan sunnah ini hendaklah memulai i’tikaf dengan masuk ke masjid tempat i’tikaf sejak terbenamnya matahari di malam ke-21 Ramadhan, karena sepuluh hari terakhir Ramadhan dimulai ketika terbenam matahari di malam ke-21 Ramadhan. Jika dia menyiapkan tenda (kemah) di salah satu bagian masjid sebagai tempat menyendiri selama i’tikaf -dan ini hukumnya sunnah- hendaklah masuk ke dalam tenda (kemah itu setelah shalat shubuh. Dalilnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memulai i’tikaf di masjidnya ketika terbenam matahari di awal malam ke-21. Namun beliau baru menyendiri (masuk) di dalam tenda yang telah disiapkan untuk dirinya setelah shalat shubuh, berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkeinginan melakukan i’tikaf, beliau menunaikan shalat Fajar (shubuh), kemudian masuk ke tempat i’tikafnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Ini adalah mazhab empat imam (Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad) serta jumhur (mayoritas) ulama yang dirajihkan (dikuatkan) oleh al-Imam Ibnu ‘Utsaimin, dan inilah pendapat yang rajih.

Selama beri’tikaf hendaklah memerhatikan adab-adab berikut:

 1. Tidak melakukan jima’ (senggama), berdasarkan ayat i’tikaf:
“Janganlah kalian menggauli istri-istri itu, sedangkan kalian beri’tikaf dalam masjid.” (Al-Baqarah: 187)
Hal ini hukumnya haram dan membatalkan i’tikaf, baik dilakukan di masjid maupun di luar masjid (rumah). Sebab, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkannya secara khusus pada i’tikaf, padahal pada asalnya halal di luar i’tikaf. Jima’ diharamkan dalam i’tikaf karena bertentangan dengan tujuan i’tikaf.
2. Tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tujuan i’tikaf, seperti keluar untuk bersenggama dengan istri di rumah, keluar untuk menekuni pekerjaannya, ataupun melakukan profesinya di tempat i’tikafnya [1], keluar untuk bertransaksi jual-beli, ataupun melakukan transaksi jual-beli di masjid, dan semisalnya. Apabila hal itu dilakukan maka i’tikafnya batal, meskipun ia telah mempersyaratkan akan melakukannya saat berniat melakukan i’tikaf, karena hal-hal tersebut bertentangan dengan tujuan i’tikaf. Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Kalau memang ia butuh untuk bekerja (melakukan profesinya), jangan beri’tikaf.”
3. Tidak keluar dari tempat i’tikaf untuk urusan yang tidak bersifat harus dilakukan. Adapun keluar untuk urusan yang bersifat harus dilakukan, hal itu boleh. Urusan tersebut meliputi hal-hal yang bersifat tabiat manusiawi seperti kebutuhan buang hajat dan makan minum, atau yang bersifat aturan syariat seperti wudhu, mandi janabah, dan shalat Jum’at. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Tidak ada khilaf tentang bolehnya seseorang yang beri’tikaf keluar dari masjid untuk suatu urusan yang harus dilakukan.” Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
“Sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang beri’tikaf, beliau biasanya tidak masuk rumah kecuali untuk suatu hajat (pada riwayat Muslim: untuk hajat manusiawi).” (Muttafaq ‘alaih)
Juga hadits ‘Aisyah yang mauquf (dinisbatkan kepada ‘Aisyah sebagai perbuatannya) yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya pada “Kitab al-Haidh”:
“Adalah aku (jika sedang beri’tikaf) biasa masuk rumah untuk suatu hajat, padahal di dalam rumah ada orang sakit. Aku tidak menanyakan keadaannya kecuali sambil lewat saja.” [2]
Oleh karena itu, tidak boleh keluar dari tempat i’tikaf untuk urusan ketaatan yang bersifat sunnah, seperti menjenguk orang sakit dan mengantarkan jenazah, menurut pendapat yang rajih. Ini adalah pendapat jumhur ulama dan dirajihkan oleh Ibnu ‘Utsaimin, kecuali jika jelas baginya bahwa tidak ada yang mengurusi orang sakit tersebut selain dirinya -sedangkan kondisi sakitnya telah kritis- atau jika tidak ada yang bisa mengurusi jenazah tersebut selain dirinya, hal ini diperbolehkan. Sebab, pada kondisi itu hukumnya menjadi wajib atas dirinya. Jika ia keluar untuk suatu urusan yang harus dilakukannya, maka tidak boleh berlama-lama lebih dari hajatnya itu. Jika ia berlama-lama lebih dari hajatnya tersebut, maka i’tikafnya batal sebagaimana batalnya i’tikaf jika keluar untuk urusan yang tidak bersifat wajib meskipun hanya sebentar, menurut pendapat empat imam mazhab.
4. Disunnahkan menyibukkan diri dengan berbagai macam ibadah khusus, seperti shalat sunnah mutlak di waktu-waktu yang tidak terlarang, membaca Al-Qur’an, berzikir, berdoa, serta beristighfar. Secara khusus, sepuluh malam terakhir Ramadhan dihidupkan dengan shalat tarawih. Inilah inti dan tujuan i’tikaf, untuk mengkhususkan diri dengan ibadah-ibadah tersebut. Itulah sebabnya pelaksanaan i’tikaf dibatasi harus di masjid.
5. Disunnahkan meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun yang lainnya.
6. Tidak mengapa baginya untuk berbicara sebatas hajat dan berbincang-bincang dengan orang lain dalam batas yang dibolehkan dalam syariat, baik secara langsung maupun melalui telepon, selama hal itu masih dalam masjid tempat beri’tikaf. Demikian pula, tidak mengapa untuk dikunjungi kerabat atau temannya di tempat i’tikafnya serta berbincang-bincang sejenak dan tidak lama. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Shafiyyah bintu Huyai radhiyallahu ‘anha, salah seorang istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim (Muttafaqun ‘Alaih) tentang kedatangannya mengunjungi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di malam hari saat beliau melakukan i’tikaf, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri bersamanya dan mengantarkannya pulang ke rumahnya. [3]
Selanjutnya, i’tikaf berakhir ketika terbenam matahari di malam ‘Id dan tidak disyariatkan menunggu esok harinya hingga menjelang shalat ‘Id. Ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama serta Ibnu Hazm.
Catatan kaki:
[1] Seperti menjahit atau yang lainnya.
[2] Adapun periwayatan hadits ini secara marfu’ (dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) yang diriwayatkan oleh Abu Dawud merupakan riwayat yang dha’if (lemah), sebab dalam sanadnya terdapat rawi yang lemah bernama Laits bin Abi Sulaim.
[3] Adapun keluarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari masjid untuk mengantarkan Shafiyyah radhiyallahu ‘anha, dibawa kepada pemahaman bahwa hal itu merupakan keharusan bagi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam untuk melakukannya, karena peristiwa itu di malam hari sehingga beliau khawatir jika membiarkannya pulang sendiri.

Hal-hal Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf

Para ulama telah menyebutkan beberapa hal yang dibolehkan bagi para mu’takifin ketika itikaf, di antaranya:
1.       Membuat kemah di dalam masjid yang dia gunakan untuk menyendiri di dalam beribadah.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

 كَانَ النَّبِيُّ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ
  
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, dan aku membuatkan kemah untuk beliau, beliau shalat shubuh kemudian memasukinya.” [HR. Al-Bukhari]
2.       Keluar dari masjid ketika ada kebutuhan, seperti keluar untuk menyediakan makanan dan minuman, keluar untuk menunaikan hajatnya, berwudhu, dan juga mandi. Dengan syarat kebutuhan-kebutuhan tadi memang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
3.       Boleh bagi seorang mu’takif untuk bertemu dan duduk bersama istri di dalam kemahnya, demikian pula boleh untuk menyambut siapa saja yang dating mengunjunginya, dengan syarat tidak menimbulkan fitnah.
Dari ‘Ali bin Husain radhiyallahu ‘anhuma:

أَنَّ صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِيِّ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ أي تعود إلى بيتها وَقَامَ النَّبِيُّ ليَقْلِبهَا أي ليوصلها إلى بيتها

“Bahwasanya Shafiyyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengkhabarkan kepadanya, bahwa dia pernah datang mengunjungi Nabi ketika beliau sedang i’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, kemudian dia (Shafiyyah) berbincang-bincang dengan beliau beberapa saat, dan kemudian dia berdiri untuk kembali ke rumahnya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengantarkan dia sampai ke rumahnya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
4.       Boleh bagi seorang mu’takif untuk meminang, melakukan akad nikah, dan menjadi saksi nikah di dalam masjid. Karena i’tikaf itu adalah ibadah yang tidak mengharamkan (menghalangi dikerjakannya) kebaikan (yang lainnya), maka i’tikaf tidak mengharamkan (menghalangi) seseorang dari nikah sebagaimana puasa. Demikian pula karena nikah itu adalah bentuk ketaatan, menghadirinya adalah juga merupakan bentuk taqarrub. Dan hendaknya itu semua dilakukan dengan tidak terlalu berlama-lama yang menyebabkan tersibukkannya dari i’tikaf ……
5.       Boleh bagi seorang mu’takif untuk membersihkan badannya, memakai parfum, dan memakai pakaian yang baik, boleh pula menyisir rambutnya dan juga memotong kukunya.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ يُصْغِي إِلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ مُجَاوِرٌ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendongokkan kepalanya kepadaku (ketika aku berada di rumahku yang) bersebelahan dengan masjid. Aku menyisir rambut beliau dalam keadaan aku sedang haid.” [HR. Al-Bukhari]
6.       Boleh bagi seorang mu’takif untuk mengadakan halaqah dalam rangka mengajarkan cara membaca Al-Qur’an atau menghadiri halaqah bacaan Al-Qur’an tersebut, demikian pula dibolehkan untuk membaca kitab-kitab ilmiah dan menghadiri majelis-majelis para ulama dan diskusi mereka, atau kegiatan lain yang bisa memberikan manfaat kepada orang lain.
7.       Boleh bagi seorang mu’takif untuk naik ke atap (lantai paling atas) masjid karena itu masih termasuk bagian dari masjid.