Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali memang
sungguh fenomenal. "Tak diragukan lagi bahwa buah pikir Al-Ghazali
begitu menarik perhatian para sarjana di Eropa," ujar Margaret Smith
dalam bukunya yang berjudul “Al-Ghazali: The Mystic” yang diterbitkan di
London, Inggris, tahun 1944.
Salah seorang pemikir Kristen terkemuka yang sangat terpengaruh dengan buah pemikiran sang ulama, kata Smith, adalah ST Thomas Aquinas (1225 M - 1274 M).
Aquinas—filsuf yang kerap dibangga-banggakan peradaban Barat—telah mengakui kehebatan Al-Ghazali dan merasa telah berutang budi kepada tokoh Muslim legendaris itu.
Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali begitu mewarnai cara berpikir Aquinas yang menimba ilmu di Universitas Naples. Saat itu, kebudayaan dan literatur-literatur Islam begitu mendominasi dunia pendidikan Barat.
Perbedaan terbesar pemikiran Al-Ghazali dengan karya-karya Aquinas dalam teologi Kristen terletak pada metode dan keyakinan. Secara tegas, Al-Ghazali menolak segala bentuk pemikiran filsuf metafisik non-Islam seperti Aristoteles yang tidak dilandasi dengan keyakinan akan Tuhan. Sedangkan Aquinas mengakomodasi buah pikir filsuf Yunani, Latin, dan Islam dalam karya-karya filsafatnya.
Filsuf Muslim yang diyakini sebagai seorang perintis metode skeptisme ini sangat saklek. Ia secara tegas menolak segara bentuk pemikiran filsafat metafisik yang berbau Yunani.
Dalam bukunya berjudul “The Incoherence of Philosophers”, Al-Ghazali mencoba meluruskan filsafat Islam dari pengaruh Yunani menjadi filsafat Islam yang didasarkan pada sebab-akibat yang ditentukan Tuhan atau perantaraan malaikat.
Upaya membersihkan filasat Islam dari pengaruh para pemikir Yunani yang dilakukan Al-Ghazali itu dikenal sebagai teori occasionalism.
Sosok Al-Ghazali boleh dibilang sangat sulit untuk dipisahkan dari filsafat. Bagi dia, filsafat yang dilontarkan pendahulunya, Al-Farabi dan Ibnu Sina, bukanlah sebuah objek kritik yang mudah, namun juga menjadi komponen penting buat pembelajaran dirinya.
Filsafat dipelajari Al-Ghazali secara serius saat dia tinggal di Baghdad. Sederet buku filsafat pun telah ditulisnya. Salah satu buku filsafat yang disusunnya, antara lain “Maqasid Al-Falasifa” (The Intentions of the Philosophers).
Lalu, ia juga menulis buku filsafat yang juga sangat termasyhur, yakni “Tahafut Al-Falasifa” (The Incoherence of the Philosophers).
Al-Ghazali merupakan tokoh yang memainkan peranan penting dalam memadukan Sufisme dengan Syariah. Konsep-konsep Sufisme dengan sangat baik dikawinkan sang pemikir legendaris itu dengan hukum-hukum Syariah.
Ia juga tercatat sebagai sufi pertama yang menyajikan deskripsi Sufisme formal dalam karya-karyanya. Al-Ghazali juga dikenal sebagai ulama Suni yang kerap mengkritisi aliran lainnya.
Ia tertarik dengan Sufisme sejak usia masih belia. Ulama terkemuka yang terlahir di Kota Tus, Khurasan, Iran, pada 1058 M itu bernama lengkap Abu Hamid Ibnu Muhammad Ibnu Muhammad Al-Tusi Al-Syafi'i Al-Ghazali.
Ia sudah menjadi anak yatim sejak masih belia. Meski begitu, Al-Ghazali berkesempatan mengenyam pendidikan yang sangat berkualitas. Minat belajarnya telah tumbuh sejak masih kecil atau kanak2.
Salah seorang pemikir Kristen terkemuka yang sangat terpengaruh dengan buah pemikiran sang ulama, kata Smith, adalah ST Thomas Aquinas (1225 M - 1274 M).
Aquinas—filsuf yang kerap dibangga-banggakan peradaban Barat—telah mengakui kehebatan Al-Ghazali dan merasa telah berutang budi kepada tokoh Muslim legendaris itu.
Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali begitu mewarnai cara berpikir Aquinas yang menimba ilmu di Universitas Naples. Saat itu, kebudayaan dan literatur-literatur Islam begitu mendominasi dunia pendidikan Barat.
Perbedaan terbesar pemikiran Al-Ghazali dengan karya-karya Aquinas dalam teologi Kristen terletak pada metode dan keyakinan. Secara tegas, Al-Ghazali menolak segala bentuk pemikiran filsuf metafisik non-Islam seperti Aristoteles yang tidak dilandasi dengan keyakinan akan Tuhan. Sedangkan Aquinas mengakomodasi buah pikir filsuf Yunani, Latin, dan Islam dalam karya-karya filsafatnya.
Filsuf Muslim yang diyakini sebagai seorang perintis metode skeptisme ini sangat saklek. Ia secara tegas menolak segara bentuk pemikiran filsafat metafisik yang berbau Yunani.
Dalam bukunya berjudul “The Incoherence of Philosophers”, Al-Ghazali mencoba meluruskan filsafat Islam dari pengaruh Yunani menjadi filsafat Islam yang didasarkan pada sebab-akibat yang ditentukan Tuhan atau perantaraan malaikat.
Upaya membersihkan filasat Islam dari pengaruh para pemikir Yunani yang dilakukan Al-Ghazali itu dikenal sebagai teori occasionalism.
Sosok Al-Ghazali boleh dibilang sangat sulit untuk dipisahkan dari filsafat. Bagi dia, filsafat yang dilontarkan pendahulunya, Al-Farabi dan Ibnu Sina, bukanlah sebuah objek kritik yang mudah, namun juga menjadi komponen penting buat pembelajaran dirinya.
Filsafat dipelajari Al-Ghazali secara serius saat dia tinggal di Baghdad. Sederet buku filsafat pun telah ditulisnya. Salah satu buku filsafat yang disusunnya, antara lain “Maqasid Al-Falasifa” (The Intentions of the Philosophers).
Lalu, ia juga menulis buku filsafat yang juga sangat termasyhur, yakni “Tahafut Al-Falasifa” (The Incoherence of the Philosophers).
Al-Ghazali merupakan tokoh yang memainkan peranan penting dalam memadukan Sufisme dengan Syariah. Konsep-konsep Sufisme dengan sangat baik dikawinkan sang pemikir legendaris itu dengan hukum-hukum Syariah.
Ia juga tercatat sebagai sufi pertama yang menyajikan deskripsi Sufisme formal dalam karya-karyanya. Al-Ghazali juga dikenal sebagai ulama Suni yang kerap mengkritisi aliran lainnya.
Ia tertarik dengan Sufisme sejak usia masih belia. Ulama terkemuka yang terlahir di Kota Tus, Khurasan, Iran, pada 1058 M itu bernama lengkap Abu Hamid Ibnu Muhammad Ibnu Muhammad Al-Tusi Al-Syafi'i Al-Ghazali.
Ia sudah menjadi anak yatim sejak masih belia. Meski begitu, Al-Ghazali berkesempatan mengenyam pendidikan yang sangat berkualitas. Minat belajarnya telah tumbuh sejak masih kecil atau kanak2.